Friday, June 3, 2011

Cadangan Devisa Bertambah US$ 1,5 Miliar per Akhir Mei 2011

(Vibiznews-Bank& Insurance) Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa RI per akhir Mei 2011 telah mencapai US$ 118 miliar. Angka tersebut berarti naik sebesar US$ 1,5 miliar dalam 10 hari.

"Per 31 Mei 2011 cadangan devisa mencapai US$ 118 miliar," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Agus Sarwono di Jakarta, Rabu (1/6/2011).

Pada bagian lain, Hartadi mengatakan kepemilikan asing di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai Rp 76,97 triliun atau mencapai 38,9% persen dari total SBI. Sedangkan Surat Berharga Negara mencapai Rp 225,32 triliun atau 31,8%.

Cadangan devisa RI memang terus menggelembung. Sebelumnya Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan dalam dua pekan cadangan devisa RI meningkat US$ 1 miliar, dari US$ 115,8 miliar per 6 Mei 2011 menjadi US$ 116,5 miliar per 20 Mei 2011.

Berikut perkembangan cadangan devisa RI sepanjang 2011:

* 31 Januari 2011: US$ 95,3 milliar

* 22 Februari 2011: US 97 miliar

* 18 Maret 2011: US$ 103,3 miliar.

* Akhir Maret 2011: US$ 105,7 miliar.

* Awal Mei 2011: US$ 116,5 miliar.

Kesiapan Bank Layani Nasabah Kaya Baru 60%

(Vibiznews-Bank& Insurance) Bank Indonesia (BI) mengungkapkan per 2 Juni 2011 bank sudah bisa lagi menjaring nasabah kaya. Pasalnya, suspensi layanan Wealth Management bank sudah kembali dibuka oleh BI walau kesiapan bank minimal baru 60%.

"Secara official, suspensi dicabut. Tapi, secara umum minimal 60% bank-bank sudah siap," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Difi Johansyah ketika dikonfirmasi wartawan di Gedung Bank Indonesia , Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (1/6/2011).

Mengapa baru minimal 60% kesiapannya? Difi menjelaskan, ada beberapa bank yang memiliki banyak kantor cabang yang masih menunggu evaluasi dari Direktur Kepatuhannya. Namun, lanjut Difi, secara keseluruhan bank sudah bisa menjalankan layanan Wealth Management ini.

Difi menambahkan, terdapat 3 hal penting yang harus diwajibkan bank untuk diperhatikan. Know Your Costumer, Know Your Employee dan Anti Fraud.

"Anti fraud yang justru penting. Karena setiap bank dengan mekanisme sendirinya harus memiliki sistem anti pembobolan," kata Dia.

Sambil berjalan, Difi mengatakan BI akan terus memantau pembenahan yang dilakukan oleh bank agar tercapai 100% kesiapannya. Termasuk, lanjut BI melakukan sertifikasi pegawai yang memegang peranan penting dilayanan tersebut.

"Selain itu BI mewajibkan bank untuk merotasi pegawainya agar tidak lagi terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kemarin," tuturnya.

BI Buat MoU Terhadap Regulator Bank di Luar Negeri

(Vibiznews-Banking), Bank Indonesia (BI) mengakui terdapat perlakuan yang tidak sama antara bank asing yang 'menumpang' di Indonesia dengan bank asal Indonesia yang membuka cabang ada di luar negeri. Oleh sebab itu BI terus mengajak regulator bank di luar negeri untuk menyusun nota kesepahaman alias MoU.

"Kita harus membuat MoU terlebih dahulu dengan negara yang bank asing-nya ada di Indonesia agar ada kesepahaman. Karena memang bank kita yang ingin buka cabang di negara lain itu harus melalui banyak proses panjang," ujar Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad ketika ditemui di sela acara seminar ISEI di Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (1/6/2011).

Dikatakan Muliaman, sebuah negara kadang tidak update mengenai kondisi perekonomian khususnya kondisi perbankan dalam negeri.

"Bahkan ada sebuah negara dimana bank asal Indonesia itu harus mempunyai cadangan modal yang lebih tinggi karena takut berisiko. Karena negara tersebut masih menggunakan data lama ketika Indonesia terkena krisis kemarin," paparnya.

Oleh karena itu, Muliaman mengatakan Bank Indonesia telah melakukan MoU dengan beberapa negara seperti Singapura, Thailand, China dan Malaysia. MoU tersebut, sambung Muliaman dilakukan untuk tukar menukar data, pengalaman dan keterbukaan informasi.

"Kedepan kita susun lagi MoU dengan yang di Eropa seperti Inggris dan AS," tukasnya.

BI Diharapkan Berikan Sanksi Terberat Kepada Citibank

(Vibiznews-Bank& Insurance) Walau telah terbukti bersalah, Bank Indonesia (BI) masih mengkaji lebih jauh sanksi apa saja yang akan diberikan kepada Citibank terkait kasus pembobolan dan meninggalnya nasabah kartu kredit Irzen Octa. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta BI untuk memberikan sanksi terberat agar ada efek jera terhadap Citibank dan memberikan contoh industri perbankan di Indonesia agar tidak lalai terhadap nasabah.

"Bank Indonesia harus memberikan sanksi yang seberatnya kepada manajemen bank sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU, agar ada efek jera dan kehati-hatian dalam menjalan aktivitas perbankan yang basis dasarnya adalah kepercayaan," ujar Anggota Komisi XI Arif Budimanta di Jakarta, Minggu (1/5/2011).

Dkatakan Arif, apabila ada perbankan yang terbukti lalai atau dengan sengaja tidak mematuhi peraturan ataupun undang-undang yang terkait dengan kegiatan operasional perbankan seharusnya Bank Indonesia dapat segera menggunakan kewenangannya untuk memberikan sanksi sesuai dengan tingkatannya dari pencabutan izin sampai dengan sanksi administratif.

Menurutnya, BI dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya, bahkan pimpinan bank sentral dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.

"Sanksi administratif antara lain denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan bank, pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan, pemberhentian pengurus bank, pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar tercela di bidang perbankan," paparnya.

"Jika Citibank dikatakan BI kemarin telah melanggar SOP dan lalai, sudah seharusnya tingkatan sanksi yang diberikan harus berat," imbuh Politisi PDIP ini.

Lebih jauh Ia menambahkan, BI memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku.

Atas dasar tersebut dan kewenangan yang diberikan oleh UU. No 10 Tentang Perbankan Tahun 1998 Arif mengatakan setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

"Bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatia. Termasuk memberikan perlindungan kepada nasabahnya. Jika tidak? Sanksi terberat sudah seharusnya diberikan," tegas Arif.

Seperti diketaui, BI bakal memberikan sanksi ganda sekaligus kepada Citibank terkait pelanggaran dalam layanan produk Citigold dan kartu kreditnya. Bank sentral menemukan kesalahan-kesalahan Citibank yang tidak menjalankan Standard Operating Procedur (SOP). Namun BI belum menentukan sanksi tersebut.

Dana Nasabah Bank Mandiri Dibobol

(Vibiznews-Banking) Salah satu nasabah prioritas Bank Mandiri kehilangan uang senilai Rp 2,28 miliar dan US$ 140 ribu. Uang tersebut dibobol oleh salah seorang Customer Service Bank Mandiri yang mengaku dihipnotis.

Demikian isi gugatan dari nasabah prioritas Bank Mandiri bernama Nur'ainy Harun Al' Rasjid melalui kuasa hukumnya Jimmy Simanjuntak ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Pembobolan ini ketahuan ketika klien saya (Nur'ainy) ingin menarik uang dalam jumlah besar. Dan Customer Service Bank Mandiri bernama Rika Susanty mengatakan sistem bermasalah. Namun setelah lama ditunda, dia mengakui terkena hipnotis," jelas Jimmy , Rabu (1/6/2011).

Jimmy mengatakan, aksi pembobolan dana kliennya ini telah dilakukan Rika sejak awal 2009. Namun baru ketahuan pada pertengahan 2010 saat kliennya ingin menarik uang dalam jumlah yang besar.

Nur'ainy terdaftar sebagai nasabah Bank Mandiri cabang PLN Pusat dan cabang Iskandarsyah.

"Sampai saat ini belum ada respons dari Bank Mandiri untuk mengembalikan uang klien saya. Karena itu kami mensomasi Bank Mandiri. Bank Mandiri juga telah melaporkan Rika ke Polda Metro Jaya setelah 8 bulan kejadian berlangsung," katanya.

Karena itu, Nur'ainy melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan senilai Rp 2,28 miliar dan US$ 140 ribu plus bunga. "Kemudian juga ada gugatan immaterial senilai Rp 100 miliar," tegas Jimmy.

Kemarin telah dilakukan sidang perdana gugatan tersebut, namun pihak Bank Mandiri tidak hadir. Sidang kedua rencananya akan dilakukan 14 Juni 2011 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Bank Mandiri Cetak Kredit Korporasi Akhir Mei 2011 Rp 91 Triliun

(Vibiznews-Banking), Kredit korporasi PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) hingga akhir Mei 2011 mencapai Rp 91 triliun (outstanding), naik dari posisi triwulan I Rp 85 triliun. Kredit korporasi masih mendominasi seluruh portofolio BMRI, dengan persentase sekitar 30%.

Demikian diterangkan Direktur Keuangan BMRI, Pahala N. Mansury di sela-sela CFO Forum, di Pacific Place, SCBD, Jakarta, Rabu (1/6/2011).

"Segmen korporasi kuartal I Rp 85 triliun, tumbuh 14% YoY, dan di akhir bulan ini (Mei) kami yakin akan mencapai Rp 91 triliun," terangnya.

Ia menjelaskan, kredit korporasi mengambil porsi 30% dari total pembiayaan Bank Mandiri. Perseroan pun sadar bahwa hanya dengan bantuan korporasi iklim investasi akan berkembang. Meski di sisi lain Bank Mandiri juga tetap menjaga kredit di sektor lain macam UKM, Mikro, serta konsumsi.

Pahala menjelaskan, kredit baru yang berhasil disalurkan BMRI sepanjang triwulan I-2011 mencapai Rpp 15 triliun. Dimana Rp 5,5 triliun berasal dari kredit korporasi, kemudian disusul kredit konsumsi Rp 3,2 triliun dan komersial Rp 2,6 triliun. Segmen kredit UKM, Mikro menjadi penyumpang terkecil, dengan nilai Rp 1,8 triliun.

"UKM kecil, namun pertumbuhannya yang paling tinggi dibandingkan sektor lain. Pertumbuhan tinggi mikro 37% yoy," ucap Pahala. Direktur Utama BMRI, Zulkifli Zaini pun percaya diri total kredit perusahaan yang ia pimpin bisa mencapai Rp 245 triliun.

Aliran Modal Swasta Tahun 2011 ke Negara Berkembang Mencapai US$1 Triliun

(Vibiznews-Banking), Aliran modal swasta ke negara-negara berkembang bisa mencapai US$ 1 triliun pada tahun 2011. Namun negara-negara berkembang diingatkan untuk menggunakan capital controls atau kontrol devisa untuk mengelola aliran modal yang luar biasa besar itu.

Demikian disampaikan asosiasi bankir internasional, Institute of International Finance seperti dikutip dari AFP, Kamis (2/6/2011).

IIF mengatakan, aliran modal swasta secara netto ke 30 negara emerging market kunci sepertinya akan mencapai US$ 1,04 triliun pada tahun 2011 dan meningkat menjadi US$ 1,056 triliun di 2012.

Aliran modal ke negara-negara berkembang telah melonjak hingga 55% pada tahun 2009 menjadi US$ 990 miliar, setelah perekonomian global keluar dari resesi ekonomi pada tahun tersebut.

"Tingkat aliran modal yang tinggi ke negara-negara berkembang merefleksikan meningkatnya peran negara-negara tersebut pada perekonomian global dan kinerja mereka yang sangat kuat relatif terhadap kematangan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir," ujar Charles Dallara, managing director IIF yang berbasis di Washington tersebut.

"Secara keseluruhan, aliran-aliran modal ini memberikan kontribusi yang sangat positif pada pertumbuhan ekonomi global dan penting untuk dicatat bahwa sekitar 40% dari total yang dihitung adalah untuk investasi asing langsung," tambahnya.

Perkiraan baru untuk tahun 2011 dan 2012 adalah lebih tinggi sekitar US$ 80 miliar dibandingkan proyeksi IIF pada Januari lalu, terutama berkaitan dengan revisi naik untuk China dan Brasil.

IIF mengatakan, aliran modal di negara-negara berkembang Asia dan Amerika Latin yang sudah meningkat tajam pada 2010 karena booming perekonomian diprediksi akan sedikit turun di bawah level tersebut pada tahun 2011 dan 2012.

Di kawasan Timur Tengah-Afrika, yang dilanda kekacauan politik, aliran modal diprediksi turun secara signifikan di bawah level 2010, namun akan pulih pada tahun 2011.

Namun IIF mengingatkan, negara-negara mestinya menggunakan kontrol devisa guna mengontrol aliran modal tersebut, dan juga menggunakan metode lain dalam melawan inflasi, salah satunya dengan membiarkan mata uang mereka menguat.

"Tekanan inflasi jika dibandingkan dengan tingginya aliran modal, adalah ancaman terbesar untuk pertumbuhan ekonomi berkesinambungan di sebagian besar negara-negara berkembang," ujar Dallara.